Nama : Amalia
Kusuma Wardhani
Npm : 10512682
Kelas : 3PA12
Psikoterapi
A. Contoh Kasus
Rizki Membunuh Adiknya untuk Perkuat
Ilmu Hitam
Sabtu, 27 Juni 2015, 16:24 WIB
REPUBLIKA.CO.ID,
TANGERANG -- Muhamad Rizki Silaban (15) terbukti membunuh adiknya, Putri Mariska
Silaban (13) dengan sebilah pisau dapur. Perbuatan tersebut dilakukan Rizki selepas
shalat ashar.
Kapolrestro Kota Tangerang, Kombes Agus Pranoto mengatakan, Rizki terpaksa
membunuh adiknya untuk memperkuat ilmu hitam yang tengah dipelajarinya. Berdasarkan
keterangan yang diperoleh dari warga sekitar, ilmu kebal tersebut sudah
dipelajari Rizki satu bulan belakangan.
"Orang tuanya juga sudah mengetahui hal itu," terang Agus, Sabtu
(27/6).
Senada dengan Agus, ibu Rizki, Rahmawati membenarkan kalau aktifitas anaknya
sehari-hari adalah shalat dan latihan silat. Rahmawati juga membenarkan ilmu
hitam itu sudah dipelajari Rizki sebulan terakhir. "Dia nggak bilang ke
saya, tapi bilang ke ayahnya," terang Rahmawati.
Seperti diketahui, Putri Mariska Sakina ditemukan tewas dengan luka sayatan di
leher. Penggorokan ini terjadi pada Ahad sekitar pukul 15.30.
Putri ditemukan tergeletak tak bernyawa di kamar belakang rumahnya di Kampung
Duku Jalan Masjid Al Baido RT 03/05, Kelurahan Sudimara Selatan, Ciledug, Kota
Tangerang. Tersangka menggorok leher Putri hingga hampir putus. Kemudian
tersangka menusuk lehernya sendiri dengan pisau yang sama.
Sebelumnya, perbuatan tersebut terpaksa dilakukan Rizki atas perintah jin.
Makhluk halus tersebut mengancam akan menghabisi seluruh keluarga Rizki kalau
permitaannya tak dipenuhi.
B.
Terapi
Terapi
yang cocok untuk menangani contoh kasus di atas adalah terapi realitas. Menurut
Buwono (2007 )Terapi realitas bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan
pemenuhan kebutuhan emosional individu dengan jalan membantu individu berbuat
realistik, dapat dipertanggung jawabkan, dan benar secara normatif. Tujuan ini
akan tumbuh dengan adanya keterlibatan emosional, hubungan yang bersifat
memelihara yang merupakan perwujudan cinta dan disiplin.
C.
Terapi
Realitas
Menurut Corey (2013) terapi realitas
adalah suatu sistem yang difokuskan pada tingkah laku sekarang. Terapis
berfungsi sebagai guru dan model serta mengkonfrontasikan klien dengan
cara-cara yang bisa membantu klien menghadapi kenyataan dan memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dasar tanpa merugikan dirinya sendiri ataupun orang lain.
Inti terapi realitas adalah penerimaan tanggung jawab pribadi yang dipersamakan
dengan kesehatan mental. Glasser mengembangkan terapi realitas dari
keyakinannya bahwa psikiatri konvensional sebagian besar berlandaskan
asumsi-asumsi yang keliru realitas, yang menguraikan prinsip-prinsip dan
prosedur-prosedur yang dirancang untuk membantu orang-orang dalam mencapai
suatu “identitas keberhasilan”, dapat diterapkan pada psikoterapi, konseling,
pengajaran, kerja kelompok, konseling perkawinan, pengelolaan lembaga, dan
perkembangan masyarakat. Terapi realitas adalah suaru bentuk modifikasi tingkah
laku karena, dalam penerapan-penerapan institusionalnya, merupakan tipe pengondisian
yang ketat.
a.
Konsep-konsep
Utama
Pandangan tentang Sifat
Manusia
Pandangan
tentang manusia mencakup pernyataan bahwa suatu “kekuatan pertumbuhan”
mendorong kita untuk berusaha mencapai suatu identitas keberhasilan.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Glesser dan Zunin (1973),” kami percaya bahwa
masing-masing individu memiliki suatu kekuatan kea rah kesehatan akan
pertumbuhan. Pada dasarnya orang-orangingin puas hati dan menikmati suatu
identitas keberhasilan, menunjukan tingkah laku yang bertanggung jawab dan
memiliki hubungan interpersonal yang penuh makna”. Penderitaan pribadi bisa
diubah hanya dengan perubahan identitas. Pandangan terapi realitas menyatakan
bahwa, karena individu-individu bisa mengubah cara hidup, perasaan, dan tingkah
lakunya, maka mereka pun bisa mengubah identitasnya. Perubahan identitas
bergantung pada perubahan tingkah laku.
b.
Ciri-ciri
Terapi Realitas
1. Terapi
realitas menolak konsep tentang penyakit mental. Ia berasumsi bahwa
bentuk-bentuk gangguan tingkah laku yang spesifik adalah akibat
ketidakbertanggungjawaban. Pendekatan ini tidak berurusan dengan
diagnosis-diagnosis psikologis. Ia mempersamakan gangguan mental dengan tingkah
laku yang tidak bertanggungjawab dan mempersamakan kesehatan mental dengan
tingkah laku yang bertanggung jawab.
2. Terapi
realitas berfokus pada tingkah laku sekarang alih-alih pada perasaan-perasaan
dan sikap-sikap. Meskipun tidak menganggap perasaan-perasaan dan sikap-sikap
itu tidak penting, terapi realitas menekankan kesadaran atas tingkah laku
sekarang. Terapis realitas juga tidak bergantung pada pemahaman untuk mengubah
sikap-sikap, tetapi menekankan bahwa perubahan sikap mengikuti perubahan
tingkah laku.
3. Terapi
realitas berfokus pada saat sekarang, bukan kepada masa lampau. Karena masa
lampau seseorang itu telah tetap dan tidak bisa diubah, maka yang bisa
diubah hanyalah saat sekarang dan masa
yang akan datang. Terapis terbuka untuk mengeksplorasi segenap aspek dari
kehidupan klien sekarang mencakup harapan-harapan, ketakutan-ketakutan dan
nilai-nilainya.
4. Terapi
realitas menekankan pertimbangan-pertimbangan nilai. Terapi realitas
menempatkan pokok kepentingannya pada peran klien dalam menilai kualitas
tingkah lakunya sendiri dalam menentukan apa yang membantu kegagalan yang dialaminya. Terapi ini
beranggapan bahwa perubahan mustahil terjadi tanpa melihat tingkah laku dan
membuat beberapa ketentuan mengenai sifat-sifat konstruktif dan desdruktifnya.
5. Terapi
realitas tidak menekankan transferensi. Ia tidak memandang konsep tradisional
tentang transferensi sebagai hal yang penting. Ia memandang transferensi
sebagai suatu cara bagi terapis untuk tetap bersembunyi sebagai pribadi. Terapi
realitas menghimbau agar para terapis menempuh cara beradanya yang sejati,
yakni bahwa mereka menjadi diri sendiri, tidak memainkan peran sebagai ayah
atau ibu klien.
6. Terapi
realitas menekankan aspek-aspek kesadaran, bukan aspek-aspek ketaksadaran.
Terapis realitas memeriksa kehidupan klien sekarang secara rinci dan berpegang
pada asumsi bahwa klien akan menemukan tingkah laku sadar yang tidak
mengarahkannya pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya.
7. Terapi
realitas menghapus hukuman. Glasser mengingatkan bahwa pemberian hukuman guna
mengubah tingkah laku tidak efektif dan bahwa hukuman untuk kegagalan
melaksanakan rencana-rencana mengakibatkan perkuatan identitas kegagalan pada
klien dan perusakan hunungan terapeutik.
8. Terapi
realitas menekankan tanggung jawab, belajar tanggung jawab adalah proses seumur
hidup. Meskipun kita semua memiliki kebutuhan untuk mencintai dan dicintai
serta kebutuhan untuk memiliki rasa berguna, kita tidak memiliki kemampuan
bawaan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu.
c.
Proses
Terapeutik
Tujuan-tujuan
terapeutik
Glasser
dan Zunin (1973) sepakat bahwa terapis harus memiliki tujuan-tujuan tertentu
bagi klien dalam pikirannya. Akan tetapi, tujuan-tujuan itu harus diungkapkan
dari segi konsep tanggung jawab individual alih-alih dari segi tujuan-tujuan
behavioral karena klien harus menentukan tujuan-tujuan itu bagi dirinya
sendiri. Mereka menekankan bahwa kriteria psikoterapi yang berhasil sangat
bergantung pada tujuan-tujuan yang ditentukan oleh klien. Meskipun tidak ada
kriteria yang kaku yang pencapaiannya menandai selesainya terapi, kriteria umum
mengenai pencapaian tingkah laku yang bertanggung jawabdan pemenuhan tujuan-tujuan
klien menunjukan bahwa klien mampu melaksanakan rencana-rencananya secara
mandiri dan tidak perlu lagi diberi treatment.
Fungsi dan Peran
Terapis
Tugas
dasar terapis adalah melibatkan diri dengan klien kemudian membuatnya
menghadapi kenyataan. Glaser (1965) merasa bahwa, ketika terapis menghadapi
para klien, dia memaksa mereka itu untuk
memutuskan apakah mereka akan atau tidak akan menempuh “jalan jalan yang
bertanggung jawab”. Terapis tidak membuat pertimbangan-pertimbangan nilai dan
putusan-putusan bagi para klien, sebab tindakan demikian akan menyingkirkan
tanggung jawab yang mereka miliki. Tugas terapis adalah bertindak sebagai
pembimbing yang membantu klien agar bisa menilai tingkah lakunya sendiri secara
realistis.
Menurut
Glaser terapis harus bersedia untuk berfungsi sebagai seorang guru dalam
hubungannya dengan klien. Ia harus mengajari klien bahwa terapi tidak diarahkan
kepada kebahagiaan. Terapis realitas berasumsi bahwa klien menciptakan
kebahagiannya sendiri dan bahwa kunci untuk menemukan kebahagiaan adalah
bertanggung jawab.
Fungsi
penting lainnya dari terapis realitas adalah memasang batas-batas dalam situasi
terapeutik dan batas-batas yang ditempatkan oleh kehidupan seseorang. Selain
fungsi-fungsi dan tugas tersebut, kemampuan terapis untuk terlibat dengan klien
dianggap paling utama. Glaser (1965) menunjukan bahwa terjadinya keterlibatan
antara dua orangyang asing banyak berusrusan dengan kualitas-kualitas yag
diperlukan pada terapis. Makin besar derajat pemilihan kualitas-kualitas itu
oleh terapis, akan semakin mampu pula dia menciptakan tipe keterlibatan dengan
klien yang akan menunjang keberhasilan terapi.
Pengalaman Klien dalam
Terapi
Para
klien dalam terapi realitas bukanlah orang-orang yang telah belajar dalam
menjalani kehidupan secara bertanggung jawab, melainkan orang-orang yang
termasuk tidak bertanggung jawab. Meskipun tingkah lakunya tidak layak, tidak
realistis, dan tidak bertanggung jawab, tingak laku para klien itu masih
merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuha dasar mereka akan cinta dan
rasa berguna. Tingak laku mereka itu pun merupakan upaya untuk memperolaeh
identitas meskipun boleh jadi “identitas kegagalan”. Perhatian terapeutik
diberikan kepada orang yang belum belajar atau kehilangan kemampuan untuk
menjalani kehidupan yang bertanggung jawab.
Para
klien diharapkan berfokus kepada tingkah laku mereka sekarang alih-alih kepada
perasaan dan sikap-sikap mereka. Terapis menantang para klien untuk memandang
secara kritis apa yang mereka perbuat dengan kehidupan mereka dan kemudian
membuat pertimbangan-pertimbangan nilai yang menyangkut keefektifan tingkah
laku mereka dalam mencapai tujuan-tujuan. Karena para klien bisa mengendalikan
tingkah lakunya lebih mudah daripada mengendalikan perasaan-perasaan dan pikirannya,
maka tingkah laku mereka itu menjadi fokus terapi.
Setelah
para klien membuat penilaian tertentu tentang tingkah lakunya sendiri serta
memutuskan bahwa mereka ingin berubah, mereka diharapkan membuat
rencana-rencana yang spesifik guna mengubah tingkah laku yang gagal menjadi
tingkah laku yang berhasil. Para klien harus membuat suatu komitmen untuk
melaksanakan rencana-rencana ini, tindakan menjadi keharusan. Mereka tidak bisa
menghindari komitmen dengan mempersalahkan, menerangkan, atau memberikan dalih.
Mereka harus terlibat aktif dalam pelaksanaan kontrak-kontrak terapi mereka
sendiri secara beratnggung jawab apabila ingin mencapai kemajuan.
d.
Penerapan:
Teknik-teknik dan Prosedur-prosedur Terapeutik
Teknik-teknik dan
Prosedur-prosedur Utama
Corey
(2013) menyatakan bahwa terapi realitas bisa ditandai sebagai terapi yang aktif
secara verbal. Prosedur-prosedurnya difokuskan pada kekuatan-kekuatan dan
potensi-potensi klien yang dihubungkan dengan tingkah lakunya sekarang dan
usahanya untuk mencapai keberhasilan dalm hidup. Dalam membantu klien untuk
menciptakan identitas keberhasilan, terapis bisa menggunakan beberapa teknik
sebagai berikut:
1) terlibat
dalam permainan peran dengan klien;
2) menggunakan humor;
3) mengonfrontasikan
klien dan menolak dalih apapun;
4) membantu
klien dalam merumuskan rencana-rencana yang spesifik bagi tindakan;
5) bertindak
sebagai model dan guru;
6) memasang
batas-batas dan menyusun situasi terapi;
7) menggunakan
“terapi kejutan verbal” atau sarkasme yang layak untuk mengonfrontasikan klien
dengan tingkkah lakunya yang tidak realistis;
8) melibatkan
diri dengan klien dalam upayanya mencari kehidupan yang lebih efektif.
Sumber :
Buwono, S. (2007). Pengembangan
collaborative classroom (model pembelajaran terapi realitas pascakonflik
menumbuhkan rasa percaya diri dan kebersamaan siswa). Jurnal Cakrawala Kependidikan. Vol. 5, No. 1, 29-38.
Corey, G. (2013). Teori dan praktek konseling & psikoterapi. (terjemahan: E.
Koswara). Bandung: PT. Refika Aditama.
Glasser,
W. (1965). Reality therapy. New York:
Harper & Row.
Glaser, W., & L Zunin. (1973). “Reality therapy”, In R. Corsini (Ed),
current psychotherapies. Itasca, III: Peacock.